Matahari Store

1708394276-LRfc-O7c27enw9yl-XLKYX3y-DNIV6-CP4-Oj
Tampilkan postingan dengan label Sosial dan Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sosial dan Budaya. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 18 Januari 2025

Mengenal Lebih Jauh Rambu Tuka Suku Toraja

Rambu Tuka’ adalah kata dalam Bahasa  Toraja yang secara harafiah berarti asap yang naik atau arahnya ke atas, artinya asap persembahan itu naik ke langit sebelum matahari mencapai zenit. Rambu Tuka’ sering juga disebut aluk rampe matallo, ritus-ritus di sebelah timur. Persembahan-persembahan tersebut dialamatkan kepada para dewa dan kepada para leluhur yang sudah menjadi dewa, yang sekarang dipercaya mendiami langit sebelah timur laut.Ritus-ritus dalam rambu tuka' dimaknai sebagai sebuah bentuk permohonan untuk mendapatkan berkat dan segala kebutuhan hidup di dunia ini.Beberapa ritus yang termasuk ke dalam Rambu Tuka' adalah Ma' Bua’MerokMangrara Banua, dan Rampanan Kapa’.

Upacara aluk rambu tuka' adalah upacara adat yang berhubungan dengan acara syukuran, di dalam upacara ini tidak ada kesedihan, yang ada hanya kegembiraan. Misalnya acara Pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah adat /tongkonan yang baru atau yang selesai direnovasi dan menghadirkanse mua rumpun keluarga.



Tarian To Ma'Dandan Suku Toraja

Tari To Ma'Dandan adalah tarian yang ditarikan oleh para wanita yang berpakaian adat, dimana dari masing-masing penari memegang tongkat dan melantunkan syair-syair khusus dari tarian tersebut, mereka bergerak lemah lunglai menggoyangkan tongkat mengikuti irama tari dan nyanyian.

Ma'Dandan ini ditarikan pada upacara adat Rambu Tuka untuk pesta panen atau pesta syukuran lainnya.



Mengenal Tari Manimbong, Tarian Syukuran Suku Toraja

 


Tari Manimbong adalah tarian tradisional dari suku Toraja, Sulawesi Selatan. Tarian ini hanya ditampilkan pada upacara adat Rambu Tuka' atau upacara adat syukuran oleh masyarakat Toraja.

Tari Manimbong ini biasa dipertunjukkan di acara adat seperti pernikahan atau peresmian rumah adat (Tongkonan) yang baru atau yang selesai direnovasi.

Tarian ini juga dianggap sebagai suatu ibadah oleh masyarakat suku Toraja. Hal tersebut karena menurut kepercayaan suku Toraja, tarian ini merupakan doa-doa pengucap syukur.

Dalam pementasannya, Tari Manimbong dilakukan oleh 20 hingga 30 orang yang semuanya merupakan penari pria. Tarian dilakukan saling beriringan dengan Tari Ma'dandan yang merupakan bentuk tarian pemuja dan ungkapan rasa syukur yang dilakukan oleh kaum wanita suku Toraja.

Gerakan Tari Manimbong
Melansir jurnal Pendidikan dan Kajian Seni Universitas Negeri Semarang yang berjudul "Eksistensi Tari Manimbong dalam Upacara Rambu Tuka' Masyarakat Toraja", tarian Manimbong dilakukan dengan cara para penari masuk dan berbaris sambil berjalan mengelilingi pelataran Tongkonan. Kemudian mengatur posisi di tengah-tengah pelataran
Proses memasuki pelataran Tongkonan diawali oleh para penari Ma'dandan yang berjalan sambil menghentakkan tongkat mereka ke tanah. Kemudian disusul oleh para penari Manimbong sambil membunyikan simbong atau okkoh-okkoh.

Setelah berkeliling para penari langsung berjejer di tengah-tengah pelataran Tongkonan. Penari wanita dan pria saling bertukaran tempat ke depan dan belakang, berdiri dan berlutut, dengan gertakan kaki yang seirama.

Tari Manimbong memiliki delapan kategori gerakan, yaitu Pa' Tambolang, Pa' Male'-Male', Pa' Letten Lemo, Pa' Tulali, Umbalalan, Talao Sau Tenden, Pa' Ruttu Ue, dan gerakan Pa' Bukka.

Tari Manimbong ini dapat ditampilkan dengan durasi waktu 7 hingga 10 menit, tergantung variasi gerakan yang dibawakan saat pementasan.

Keunikan Tari Manimbong
Secara umum, Tari Manimbong tidak diiringi alat musik melodis tradisional seperti geso'-geso' atau pelle' maupun alat musik lainnya.


Namun, saat mementaskan tarian ini, setiap orang akan membawa sebuah alat musik yang disebut sarong simbong. Alat musik tersebut seperti tameng kecil yang berbentuk lingkaran bermotif ukiran Toraja yang terdapat hiasan tali yang menjuntai (ikko'na) dan juga koin yang diikatkan sehingga saat menari alat tersebut akan menghasilkan bunyi ketukan bagi para pemain.

Selain menggunakan alat tersebut untuk menghasilkan bunyi, para penari juga akan menyanyi syair khusus yang memiliki makna rasa syukur. Syair yang dinyanyikan kebanyakan huruf vocal seperti, "Aaaa.." "Eeee..." "Oooo...".

alam tarian ini, penari menggunakan kostum Bayu Pokko', Seppa Tallu Buku, dan selempang kain tua (mawa'). Setiap penari menggunakan hiasan kepala yang terbuat dari bulu burung bawan atau bulu ayam yang indah.

Selain kostum tersebut, penari juga menggunakan parang kuno (la'bo' pinai) dan sejenis tameng kecil yang berbentuk lingkaran dengan motif ukiran khas Toraja.

Eksistensi Tari Manimbong
Tari manimbong saat ini sangat cukup sebagai tarian tradisional, hal Ini dilihat dari aturan hukum dan adat Toraja yang mengatakan bahwa tarian ini tidak boleh dipentaskan sembarangan.

Akan tetapi, Tari Manimbong kurang dikenal oleh masyarakat diluar Toraja, sebab kebanyakan pelaksanaan upacara Rambu Tuka' dilaksanaan tidak saat hari libur. Seperti kisaran bulan Juni, Juli, atau Desember.

Sehingga Tari Manimbong ini kurang pengakuan oleh masyarakat luar Toraja bahkan masyarakat Toraja sendiri


Sisemba, Tradisi Unik Adu Kaki Masyarakat Toraja Sebagai Bentuk Rasa Syukur

Sisemba adalah tradisi masyarakat suku Toraja yang telah diwariskan turun temuruan sebagai bentuk rasa syukur dari hasil panen yang telah dihasilkan.Tradisi ini digelar dengan tari Ma’gallu, serta Ma’ lambuk atau menumbuk padi secara beramai-ramai. Para tetua adat akan memberi wejangan yang berisi pesan leluhur tentang aturan bertani. Warga yang memadati lokasi pesta panen disuguhkan tarian Ma’gallu. 

Tarian ini memiliki makna sebagai bentuk rasa syukur kepada tuhan atas hasil panen yang dihasilkan. sesuai namanya sisemba yang berarti adu kaki, para pria yang yang berusia 15 tahun keatas melakukan tradisi ini secara berkelompok.

Jumat, 17 Januari 2025

Acara Rambu Solo` : Daya Tarik Wisatawan Yang Utama Di Toraja

Tradisi gotong royong Rambu Solo’ merupakan upacara pemakaman yang dilakukan oleh masyarakat Toraja. Tradisi ini bertujuan untuk menghormati orang yang meninggal dan mengantarkan arwahnya ke alam roh.

Makna dari tradisi Rambu Solo adalah: Menghormati arwah orang yang meninggal, Mengantarkan arwah orang yang meninggal ke alam roh, Menyempurnakan kematian, Memuliakan arwah orang yang meninggal

Tata cara pelaksanaan

  • Upacara Rambu Solo’ dilakukan sesuai dengan strata sosial masyarakat
  • Upacara Rambu Solo’ melibatkan banyak orang
  • Upacara Rambu Solo’ diramaikan dengan pertunjukan kesenian
  • Upacara Rambu Solo’ memiliki beberapa fase, seperti Ma’karudusan dan Ma’pasa’tedong

Upacara rambu solo’ berasal dari kepercayaan Aluk Todolo. Istilah aluk rambu solo’ terbangun dari tiga kata, yaitu aluk (keyakinan), rambu (asap atau sinar), dan turun. Dengan demikian, aluk rambu solo’ dapat diartikan sebagai upacara yang dilaksanakan pada waktu sinar matahari mulai turun (terbenam). Sebutan lain untuk upacara ini adalah aluk rampe matampu.

Upacara rambu solo sudah dilaksanakan dimulai kira-kira abat ke-9 masehi dan dilaksanakan turun-temurun sampai saat ini.[2]

Upacara ini merupakan sebuah transaksi ekonomi raksasa yang melibatkan dan memberi keuntungan bagi banyak pihak. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir upacara kematian itu mulai disisipi dengan aktivitas ekonomi. Perekonomian rambu solo’ menjadi sumber pendapatan bagi berbagai profesi sosial, antara lain: ternak babi dan kerbau, jasa pembawa acarasalon dan dekorasi, sewa soundsystem, listrik, pelapak kaki lima, industri rokok, logistik makanan (tuak, ikan, sayur-sayuran, beras, gula, kue tradisional dan modern, air kemasan, kopiteh, minuman alkohol).

Pemberian babi atau kerbau kepada keluarga yang sedang menghadapi rambu solo’ sebagai tanda ikatan darah daging (rara buku). Membawa babi atau kerbau pada orang dalam rambu solo’ menandakan adanya ikatan keluarga, seperti kerabat atau adanya hubungan karena perkawinan dan kenalan yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri. Ada dua jenis pemberian hewan dari keluarga atau kenalan pada orang yang sedang menghadapi pelaksanaan upacara rambu solo’ yakni pemberian sebagai tanda kasih dan turut berduka (pa’uaimata) sebagai kerabat dan pengembalian pemberian yang telah diterima di masa lalu (tangkean suru’) dan sudah ada rezeki untuk dikembalikan.

Jenis upacara ditentukan oleh status orang yang meninggal, dalam masyarakat Toraja dikenal sebagai Tana’ atau kelas sosial (kasta). Ada beberapa stratifikasi upacara rambu solo’, sebagai berikut.

  1. Didedekan palungan, berlaku untuk semua tana’.
  2. Disilli’, berlaku untuk semua tana’.
  3. Dibai Tungga’, berlaku untuk semua tana’.
  4. ‘Dibai a’pa’, berlaku untuk semua kelas.
  5. Tedong tungga’, berlaku untuk semua kelas.
  6. Tedong tallu atau tallung bongi, dikhususkan untuktana’ karurung ke atas.
  7. Tedong pitulimang bongi, ekslusif bagi anggota tana’ bassi.
  8. Tedong kaserapitung bongi, ekslusif bagi anggota tana’bassi dan tana’ bulaan.
  9. Rapasan, ekslusif bagi anggota tana’ bassi dan tana’ bulaan.

Jenis upacara pertama dan kedua diselenggarakan untuk kematian anak. Jenis ketiga dan keempat berlaku hanya bagi para budak. Jenis kelima berlaku untuk semua kelas, termasuk budak asal sanggup menanggung biayanya. Dengan alasan ekonomis jenis upacara ketujuh merupakan yang paling sering dilaksanakan.

Tingkatan dalam upacara Rambu Solo menunjukkan strata sosial masyarakat. Tingkatan tersebut memiliki 4 macam yaitu:

  1. Upacara dasilli’, merupakan upacara pemakamam level paling rendah dalam Aluk Todolo. Upacara ini untuk tana’ terendah dan untuk anak yang belum bergigi.
  2. Uacara dipasangbongi, merupakan upacara untuk rakyat biasa/rakyat merdeka (tana’ Karurung). Upacara ini hanya memerlukan waktu satu malam.
  3. Upacara dibatang atau digoya Tedong, merupakan upacara untuk bangsawan menengah (tana’ bassi) dan bangsawan tinggi yang tidak mampu. Upacara ini menyembelih satu ekor kerbau setiap hari selama upacara berlangsung. Kerbau diikat pada patok dan dijaga sepanjang malam dan tidak tidur.
  4. Upacara rapasan, merupakan upacara untuk bangsawan tinggi (tana’ bulaan). Biaya yang besar dalam menyelenggarakan upacara rambu solo ditanggung oleh seluruh anggota keluarga. Setiap keluarga berpartisipasi dalam acara tersebut. Partisipasi dilakukan dengan menyerahkan harta benda yang dibutuhkan dalam upacara, terutama ternak hidup seperti kerbau dan babi.

Upacara rambu solo di Tana Toraja memerlukan biaya yang sangat besar (mahal). Biaya yang tinggi tersebut disebabkan oleh banyaknya kerbau dan babi yang dikorbankan, dan lamanya upacara dilaksanakan. Biaya yang besar dalam upacara rambu solo adalah untuk melakukan pengorbanan utama berupa penyembelihan kerbau belang atau tedong bonga. Selain mengorbankan kerbau belang, upacara rambu solo juga mengorbankan kerbau biasa dan babi yang jumlanya mencapai ratusan ekor bahkan ribuan ekor. Sehingga keseluruhan biayanya dapat mencapai milyaran rupiah Pengeluaran dalam perspektif budaya dilakukan dalam kegiatan perayaan adat tidak memiliki keterkaitan dengan perolehan pendapatan sebagai ikutannya, walaupun pengeluaran untuk perayaan tersebut membutuhkan pengeluaran biaya yang sangat besar.

Untuk mempersiapkan upacara rambu solo, didahului oleh beberapa aktivitas yang berkaitan dengan persiapan pelaksanaan upacara tersebut. Kegiatan-kegiatan pendahuluan sebelum upacara dilaksanakan, yakni acara pertemuan keluarga, pembuatan pondok-pondok upacara, menyediakan peralatan upacara, dan persediaan kurban dalam upacara.Pada pesta kematian (rambu solo’) dilakukan pemotongan ternak kerbau yang tidak sedikit, dan bagi orang Toraja, kerbau dijadikan sebagai hewan kurban dalam acara ritual pada upacara adat kematian (rambu solo’). Jumlah kerbau dalam prosesi rambu solo’ yang dikurbankan menyesuaikan stratifikasi masyarakat Suku Toraja. Bila golongan Rapasan (golongan Bangsawan) meninggal dunia maka jumlah kerbau yang akan dipotong untuk keperluan acara jauh lebih banyak dibanding dengan masyarakat yang bukan keturunan bangsawan. Untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau biasa berkisar dari 24 sampai dengan 100 ekor kerbau. Sedangkan masyarakat golongan Tana’bassi (golongan menengah) diharuskan menyembelih 8 kerbau ditambah dengan 50 ekor babi.[11] Lama upacara sekitar 3-7 hari. Tapi sebelum jumlah itu mencukupi, jenazah tidak boleh dikuburkan ditebing atau ditempat tinggi. Maka dari itu tidak jarang jenazah disimpan selama bertahun-tahun di atas rumah atau di atas tongkonan (rumah adat Toraja) sampai akhirnya keluarga almarhum dapat menyiapkan hewan kurban.

Mengarak mayat merupakan sistem pengetahuan dalam tradisi Rambu Solo karena merupakan peristiwa yang nyata dan sudah dilakukan secara turun-temurun di Toraja. Mayat yang ada di dalam peti akan diarak dan dibawa ke tempat terakhirnya agar segera menghadap ke Tuhannya. Mayat itu nantinya akan dikuburkan ke tebing.

Rambu Solo memiliki beberapa sistem simbol yang dapat diketahui melalui peristiwa yang terjadi dalam tradisi tersebut. Sistem simbol yang terdapat pada Rambu Solo adalah simbol dalam ritual, simbol nyanyian, simbol bangsawan, simbol arwah, simbol melayat dan simbol kerbau. Ritual dalam Rambu Solo terdiri atas Mappassulu’, Mangriu’ Batu, Ma’popengkaloa, Ma’pasonglo, Mantanu Tedong, dan Mappasilaga Tedong.


Kesenian Toraja Gau' Tendengan atau Gau Pa'Tendengan

Kesenian Toraja bersumber atau berdasarkan dari falsafah hidup dan kehidupan masyarakat Toraja yang keseluruhannya nampak dalam kehidupan A...