Matahari Store

1708394276-LRfc-O7c27enw9yl-XLKYX3y-DNIV6-CP4-Oj

Kamis, 30 Januari 2025

Kesenian Toraja Gau' Tendengan atau Gau Pa'Tendengan

Kesenian Toraja bersumber atau berdasarkan dari falsafah hidup dan kehidupan masyarakat Toraja yang keseluruhannya nampak dalam kehidupan Aluk Todolo sebagai tempat berpijaknya seluruh kebudayaan Toraja. Masing-masing kesenian tersebut mempunyai fungsi, waktu dan tempat pemakaian tertentu yang tidak boleh dicampur adukkan terutama yang menyangkut kesenian pemujaan, kedukaan dan kesenian kegembiraan. Kesenian Toraja dibagi dalam beberapa golongan, yaitu :

Seni Tari (Gellu’- gellu’)

  1. a. Untuk upacara Rambu Tuka’ sebagai tanda kegembiraan (perkawinan, menyambut tamu terhormat dan lain-lain), yaitu : Tari Pa’ Gellu’, Tari Pa’ Bone Balla’, Tari Pa’ Lambu’ Pare, dan lain-lain.
    b. Untuk upacara Rambu Tuka’ sebagai tari pemujaan atau penyembahan, yaitu : Tari Pangnganta’, Tari Bondesan, Tari Burake dan lain-lain.
    c. Untuk upacara Rambu Solo’ sebagai tarian untuk mengenang / memperingati seseorang yang telah meninggal dunia karena keberaniannya dan keagungannya semasa hidupnya, yaitu : Tarian Ma’ Randing (Tarian Perang).
  2. Seni Suara / Musik (Pa’ Kayoyoan atau Passuling-suling)
    a. Untuk upacara Rambu Tuka’, yaitu : Pa’ Geso’-geso’, Pa’ Oni-oni, Pa’Tulali, Pa’ Karombi dan lain-lain.
    b. Untuk upacara Rambu Solo’, yaitu : Massuling Marakka, Ma’ Dondi’, Memanna’ dan lain-lain.
  3. Seni Tari Paduan Lagu dan Suruling (Gellu’- gellu’ di Gamarai atau Gellu’- gellu’ di Sulinggi).
    a. Untuk upacara Rambu Tuka’ dengan tujuan sebagai pemujaan dan penyembahan, yaitu : Tari Manimbong, Tari Ma’ Dandan, Tari Ma’ Bassen-bassen, Tari Ma’ Bugi’ dan lain-lain.
    b. Untuk upacara Rambu Solo’ dengan tujuan mengenang yang meninggal yang berisi doa, yaitu : Tari Pa’ Badong, Tari Ma’ Katia dan lain-lain
  4. Seni Hias atau Dekorasi (Pa’ Belo-belo)
    Masyarakat Toraja mempunyai bentuk tersendiri dalam seni hias (dekorasi) disesuaikan dengan fungsinya dan falsafah serta keyakinan hidup masyarakat Toraja. Penggunaan penempatan / pemakaian bahan tidak dilakukan dengan sembarang karena setiap bahan yang digunakan mempunyai arti yang tersendiri.
    Bahan-bahan yang sering digunakan adalah :
    a. Barang-barang pusaka dan perhisaan Toraja
    b. Tenunan-tenunan pusaka yang dianggap keramat dan bertuah
    c. Kain-kain yang berwarna tajam, yang disesuaikan dengan warna dan tempat pemakaian seperti warna merah dan putih dapat dipergunakan dimana saja, warna kuning untuk upacara Rambu Tuka’ dan warna hitam untuk upacara Rambu Solo’.
    d. Rautan-rautan bambu yang berbentuk lidi berbelit-belit yang disebut Pangarru’-arru’.
    e. Tumbuh-tumbuhan yang mempunyai arti tersendiri menurut Aluk Todolo, yaitu:
    - Pusuk (daun ijuk / kelapa mudah)
    - Tabang (daun semacam palem yang merah daunnya) dianggap mempunyai nilai magis
    - Belo Bubun (semacam palem yang berwarna kuning hijau).
    - Kambunni’ (sejenis tanamam perdu yang terdapat digunung-gunung)
  5. Seni Sastra (Tantanan Kada/Kada-kada Tominaa)
    Dalam seni sastra Toraja agak berbeda dengan daerah lain di tanah air, hal tersebut nyata pada gaya yang terselip alam pengungkapannya menggunakan gaya bahasa Paralelisme dan Sinonisme sehingga dua kalimat yang diungkapkan tersebut hanya mempunyai satu arti dan hubungan pengungkapan itu sangat serasi (enak didengar). Juga dalam pengungkapanya berbentuk prosa dengan menggunakan gaya bahasa Allegoris yaitu mempergunakan bahasa Toraja tinggi. Penggunaan seni sastra tersebut pada upacara Rambu Tuka’ maupun Rambu Solo’. Dalam masyarakat Toraja dikenal beberapa sastrawan dalam beberapa tingkatan, yaitu : Tomina Bakaa atau Gora Tongkon (sastrawan yang didaktis), Tomina Burake (ahli sastra religius), Tomina Sanda (ahli sastra yang religius dan estetis), Rangga Kada (ahli membuat alasan dan kata-kata yang menarik).
    Beberapa ungkapan sastra Toraja menurut arti dan tujuannya, yaitu : 
    a. Puisi atau syair yang terdiri dari 2 atau 3 bait yang jumlah tiap bait tidak tentu jumlahnya yaitu :Londe Tomangngura (Pantun orang muda), Ponto Bannang (Pepatah), Passimba (Sindiran), Karume (Teka-teki) dan lain-lain.
    b. Prosa Lirik untuk upacara Rambu Tuka’, yaitu : Ma’ Gellong (mantra dan doa) dibawakan oleh Panggala Gelong, Mangngimbo, mantra dan doa dalam pemujaan atau penyembahan yang dibawakan oleh Tominaa atau To Indo’ Padang, Massonde, pujian untuk menyukuri kebesaran dan kemuliaan Tuhan juga untuk menghibur orang sakit, Ma’ Ulelle’, isinya mengandung nasihat
    c. Prosa Lirik pada upacara Rambu Solo’, yaitu : Ma’ Kakarung, Sumengo, Ma’ Retteng, Mangimbo, Umbating dan lain-lain.
  6. Seni Pahat (Pa’ Paa’), Seni Anyam (Panganan), Seni Tenun (Pa’ Tannun), Seni Tempa (Pa’ Tampa)
  7. Seni Bangunan (Manarangngi)
    Seni Bangunan bagi orang Toraja disebut Manaranggi sedang ahli bagunan disebut Tomanarang (To = orang, Manarang = pintar)
  8. Seni Ukir (Passura')

Jumat, 24 Januari 2025

World-Class Green Tourism Destination: Landorundun Village

Landorundun Village , a popular highland area in West Java, Indonesia, has long been known for its cool climate, breathtaking landscapes, and lush green scenery. Among its many hidden gems, Lembang Landorundun Village stands out as a world-class green tourism destination, offering an eco-friendly escape for nature lovers and travelers seeking tranquility.

Lembang Landorundun, located just a short drive from the bustling city of Bandung, has been carefully developed with sustainability in mind. The village seamlessly blends modern eco-tourism practices with traditional culture, providing visitors with an immersive experience that highlights both environmental conservation and local heritage.

Sustainable Tourism Practices

The village's commitment to sustainable tourism is evident in its eco-friendly infrastructure. Many accommodations in Lembang Landorundun are built using sustainable materials and designed to minimize their environmental footprint. The surrounding natural landscape has been preserved, with initiatives in place to protect the region's biodiversity and promote responsible tourism.

Local farmers and artisans also play an integral role in the community’s tourism activities. Visitors have the opportunity to explore organic farms, participate in workshops on traditional crafts, and enjoy locally-produced food that supports the village's agricultural heritage.

A Green Paradise for Travelers

Lembang Landorundun offers a range of outdoor activities that showcase its lush surroundings. The area is perfect for hiking, nature walks, and photography, with panoramic views of tea plantations, mountain ranges, and vibrant flower gardens. Tourists can also engage in activities such as cycling and bird-watching, all while soaking in the cool, fresh air of the highlands.

For those seeking more than just nature, the village also hosts cultural events, such as traditional music performances and art exhibitions, giving visitors a deeper understanding of the local culture and way of life.

Future Prospects

As more travelers seek destinations that prioritize sustainability, Lembang Landorundun Village is poised to become a leading example of green tourism in Indonesia. With its breathtaking scenery, rich culture, and commitment to environmental preservation, Lembang Landorundun is undoubtedly a must-visit destination for anyone looking to experience the beauty of Indonesia in a sustainable way.

In conclusion, Lembang Landorundun Village is more than just a getaway—it's a glimpse into the future of tourism, where nature, culture, and sustainability coexist harmoniously. For those looking to experience a unique, eco-friendly escape, Lembang Landorundun should be at the top of their travel list.

#LembangLandorundun
#GreenTourism
#EcoTourism
#SustainableTravel
#VisitLembang
#IndonesiaNature
#ExploreIndonesia
#SustainableDestinations
#EcoFriendlyTravel
#NatureLoversParadise
#GreenDestinations
#CulturalHeritage
#MountainGetaway
#LembangVillage
#TravelSustainably
#IndonesiaEcoTourism
#EcoTravelAdventure

Selasa, 21 Januari 2025

Desa Wisata Landorundun, Destinasi Eksotis di Kaki Gunung Sesean

Landorundun – Terletak di Lembang Landorundun, Kecamatan Sesean Suloara, Kabupaten Toraja Utara, Desa Wisata Landorundun menjadi salah satu destinasi unggulan yang wajib dikunjungi. Berada di kaki Gunung Sesean pada ketinggian 2.100 meter di atas permukaan laut (mdpl), desa ini menawarkan suasana alam yang sejuk dan menenangkan.

Dengan suhu harian yang bervariasi antara 16°C di malam dan pagi hari hingga 30°C di siang hari, Landorundun menjadi tempat yang ideal untuk menikmati keindahan alam pegunungan. Desa ini juga dikenal dengan pesona budayanya, seperti Tongkonan, lumbung tradisional, serta kuburan batu kuno yang menyimpan nilai sejarah Toraja.

Ayo Kunjungi Desa Wisata Landorundun!

Nikmati suasana alam yang asri, pelajari kearifan lokal, dan temukan ketenangan di tengah keindahan kaki Gunung Sesean. Jangan lupa mengabadikan momen terbaik Anda dan berbagi cerita seru bersama orang tersayang.

Rencanakan liburan Anda ke Desa Wisata Landorundun sekarang juga!
Landorundun: Pesona di Ketinggian, Kekayaan Budaya yang Menawan!

#ExploreToraja
#DesaWisataLandorundun
#PesonaIndonesia

Senin, 20 Januari 2025

Desa Wisata Landorundun: Surga Kopi Arabika Berkualitas dari Toraja Utara

 

Desa Wisata Landorundun, yang terletak di Lembang Landorundun, Dusun Londong Biang, Toraja Utara, dikenal tidak hanya karena keindahan alamnya yang asri dan udara sejuk yang menyegarkan, tetapi juga karena produk lokalnya yang memiliki kualitas unggul. Salah satu kebanggaan desa ini adalah Kopi Arabika dan Kopi Tipika (Kopi Todolo), dua jenis kopi yang telah menjadi bagian dari warisan budaya dan ekonomi masyarakat setempat.

Kopi Arabika: Dari Bibit hingga Secangkir Kopi Berkualitas

Kopi Arabika dari Desa Wisata Landorundun diproses dengan penuh dedikasi, mulai dari tahap pembibitan, penanaman, hingga pemetikan buah kopi yang matang sempurna. Proses ini dilanjutkan dengan pengolahan biji kopi yang dilakukan secara tradisional hingga menghasilkan bubuk kopi siap seduh. Seluruh tahapan ini dilakukan dengan menggunakan pupuk organik, memastikan kualitas kopi yang sehat dan ramah lingkungan.

Sejarah Kopi Arabika di Toraja sendiri dimulai pada abad ke-16 saat penjajah membawa bibit kopi dari luar negeri untuk dikembangkan di daerah pegunungan Toraja. Nama “kopi” berasal dari bahasa Arab, “Kahwa,” yang berarti minuman berenergi. Namun, masyarakat Toraja menyebutnya sebagai “Kaa,” sebuah nama sederhana yang kini menjadi simbol warisan budaya lokal.

Kopi Tipika: Rasa Tradisional yang Mendunia

Kopi Tipika, atau dikenal juga sebagai Kopi Todolo, merupakan jenis kopi yang memiliki cita rasa khas dan menjadi favorit para pecinta kopi. Jenis kopi ini diolah dengan metode tradisional yang diwariskan dari generasi ke generasi, menjaga keaslian rasa dan aroma yang unik. Dengan kualitas premium, Kopi Tipika dari Landorundun telah menarik perhatian banyak penikmat kopi dari berbagai daerah.

Mengapa Harus Mencoba Kopi Landorundun?

  1. Keaslian Rasa: Kopi Arabika dan Tipika dari Landorundun diproses secara alami tanpa bahan kimia, sehingga menawarkan cita rasa autentik.

  2. Warisan Budaya: Setiap cangkir kopi membawa cerita panjang tentang sejarah dan tradisi masyarakat Toraja.

  3. Dukungan pada Ekonomi Lokal: Dengan membeli kopi Landorundun, Anda turut mendukung perekonomian masyarakat setempat dan pelestarian metode pengolahan tradisional.

Nikmati dan Dukung Produk Lokal Landorundun!

Kunjungi Desa Wisata Landorundun untuk menikmati pesona alamnya yang indah sekaligus mencicipi Kopi Arabika dan Kopi Tipika yang legendaris. Jadikan pengalaman ini sebagai momen istimewa untuk merasakan harmoni antara keindahan alam, tradisi lokal, dan cita rasa kopi terbaik. Dukung produk lokal Toraja Utara dengan membawa pulang Kopi Landorundun sebagai oleh-oleh istimewa.

Mari jadikan setiap tegukan kopi Anda sebagai langkah kecil untuk melestarikan budaya dan mendukung kesejahteraan masyarakat Desa Wisata Landorundun. Ayo berkunjung dan temukan keajaiban kopi di sini!

Legenda Putri Landorundun: Kisah Putri Cantik Berambut Panjang dari Toraja

 

Toraja, sebuah wilayah yang kaya akan tradisi dan budaya di Sulawesi Selatan, menyimpan banyak cerita rakyat yang menginspirasi dan penuh makna. Salah satu kisah yang sangat dikenal adalah legenda Putri Landorundun, seorang putri cantik yang dikenal karena keindahan rambut panjangnya. Kisah ini berakar dari To'Kianak, sebuah daerah di Lembang Landorundun, Kecamatan Sesean Suloara, Kabupaten Toraja Utara.

Asal Usul Putri Landorundun

Menurut cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi, Putri Landorundun dilahirkan di To'Kianak, sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh pegunungan dan keindahan alam. Ia berasal dari keluarga bangsawan Toraja yang dihormati karena kebijaksanaan dan kepemimpinannya. Sejak kecil, Putri Landorundun telah menunjukkan keanggunan dan kecantikannya yang luar biasa, terutama rambutnya yang panjang, lebat, dan hitam berkilau. Rambutnya menjadi simbol keindahan sekaligus kebanggaan bagi masyarakat setempat.

Keajaiban Rambut Panjang Putri Landorundun

Rambut panjang Putri Landorundun bukan hanya menjadi daya tarik secara fisik, tetapi juga dianggap memiliki kekuatan magis. Konon, rambutnya dipercaya mampu melindungi desanya dari ancaman bahaya. Dalam beberapa versi cerita, dikisahkan bahwa rambutnya memancarkan cahaya pada malam hari, menerangi desa ketika kegelapan menyelimuti.

Kecantikan dan pesona Putri Landorundun juga menarik perhatian banyak pria dari berbagai wilayah, termasuk para pangeran dan bangsawan. Namun, sang putri dikenal sebagai sosok yang bijaksana dan tidak mudah terpengaruh oleh rayuan. Ia memegang teguh nilai-nilai budaya Toraja dan selalu mengutamakan kepentingan rakyatnya di atas segalanya.

Perjuangan dan Pengorbanan Putri Landorundun

Kisah Putri Landorundun tidak hanya tentang kecantikannya, tetapi juga tentang perjuangan dan pengorbanannya untuk melindungi tanah kelahirannya. Dalam suatu legenda, diceritakan bahwa sebuah kekuatan jahat datang mengancam desa To'Kianak. Sang putri dengan keberanian luar biasa menggunakan kekuatan rambutnya untuk mengusir ancaman tersebut. Ia mengorbankan sebagian rambutnya untuk menciptakan perisai pelindung bagi desanya.

Warisan Budaya yang Abadi

Legenda Putri Landorundun menjadi salah satu bagian penting dari warisan budaya Toraja. Cerita ini sering diceritakan dalam berbagai acara adat dan menjadi pengingat akan pentingnya menjaga keindahan alam serta nilai-nilai kehidupan yang diwariskan oleh leluhur. Rambut panjang Putri Landorundun juga sering dijadikan simbol keindahan dan kekuatan perempuan Toraja.

Kisah ini mengajarkan bahwa kecantikan sejati tidak hanya terletak pada penampilan fisik, tetapi juga pada keberanian, kebijaksanaan, dan pengorbanan untuk kebaikan bersama. Putri Landorundun adalah simbol dari perempuan yang kuat, anggun, dan penuh cinta terhadap tanah kelahirannya.

Penutup

Legenda Putri Landorundun adalah salah satu contoh kekayaan cerita rakyat Indonesia yang perlu dijaga dan dilestarikan. Melalui kisah ini, kita diajak untuk menghargai budaya lokal dan menghormati nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Semoga cerita Putri Landorundun terus hidup dalam hati masyarakat Toraja dan menginspirasi generasi mendatang.

Sabtu, 18 Januari 2025

Mengenal Lebih Jauh Rambu Tuka Suku Toraja

Rambu Tuka’ adalah kata dalam Bahasa  Toraja yang secara harafiah berarti asap yang naik atau arahnya ke atas, artinya asap persembahan itu naik ke langit sebelum matahari mencapai zenit. Rambu Tuka’ sering juga disebut aluk rampe matallo, ritus-ritus di sebelah timur. Persembahan-persembahan tersebut dialamatkan kepada para dewa dan kepada para leluhur yang sudah menjadi dewa, yang sekarang dipercaya mendiami langit sebelah timur laut.Ritus-ritus dalam rambu tuka' dimaknai sebagai sebuah bentuk permohonan untuk mendapatkan berkat dan segala kebutuhan hidup di dunia ini.Beberapa ritus yang termasuk ke dalam Rambu Tuka' adalah Ma' Bua’MerokMangrara Banua, dan Rampanan Kapa’.

Upacara aluk rambu tuka' adalah upacara adat yang berhubungan dengan acara syukuran, di dalam upacara ini tidak ada kesedihan, yang ada hanya kegembiraan. Misalnya acara Pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah adat /tongkonan yang baru atau yang selesai direnovasi dan menghadirkanse mua rumpun keluarga.



Tarian To Ma'Dandan Suku Toraja

Tari To Ma'Dandan adalah tarian yang ditarikan oleh para wanita yang berpakaian adat, dimana dari masing-masing penari memegang tongkat dan melantunkan syair-syair khusus dari tarian tersebut, mereka bergerak lemah lunglai menggoyangkan tongkat mengikuti irama tari dan nyanyian.

Ma'Dandan ini ditarikan pada upacara adat Rambu Tuka untuk pesta panen atau pesta syukuran lainnya.



Mengenal Tari Pa'gellu, Kesenian Tari Khas dari Toraja

 

Tari Pa'gellu merupakan tari sukacita yang biasa dipentaskan pada upacara adat di desa wisata Buntudatu, Tana Toraja, Sulawesi Selatan dengan sifat riang gembira

Tarian Ma'gellu atau Pa'gellu adalah tarian tradisional masyarakat Suku Toraja di Sulawesi Selatan yang menggambarkan sukacita dan syukurTarian ini biasanya ditampilkan pada upacara adat seperti pernikahan, syukuran, dan peresmian rumah adat.

Ciri khas tarian Ma'gellu adalah: Gerakan kaki yang jinjit, Gerakan tangan yang patah-patah atau lembut gemulai, Keunikan busana tari, Iringan gendang dan seruling.

Properti yang digunakan dalam tarian Ma'gellu di antaranya: Keris emas (sarapang bulawan), Kandaure, Sa'pi' ulu, Tali tarrung

Filosofi gerakan tarian Ma'gellu adalah untuk tidak melupakan jasa orang baik dan menghormati pendahulu.


Mengenal Tari Manimbong, Tarian Syukuran Suku Toraja

 


Tari Manimbong adalah tarian tradisional dari suku Toraja, Sulawesi Selatan. Tarian ini hanya ditampilkan pada upacara adat Rambu Tuka' atau upacara adat syukuran oleh masyarakat Toraja.

Tari Manimbong ini biasa dipertunjukkan di acara adat seperti pernikahan atau peresmian rumah adat (Tongkonan) yang baru atau yang selesai direnovasi.

Tarian ini juga dianggap sebagai suatu ibadah oleh masyarakat suku Toraja. Hal tersebut karena menurut kepercayaan suku Toraja, tarian ini merupakan doa-doa pengucap syukur.

Dalam pementasannya, Tari Manimbong dilakukan oleh 20 hingga 30 orang yang semuanya merupakan penari pria. Tarian dilakukan saling beriringan dengan Tari Ma'dandan yang merupakan bentuk tarian pemuja dan ungkapan rasa syukur yang dilakukan oleh kaum wanita suku Toraja.

Gerakan Tari Manimbong
Melansir jurnal Pendidikan dan Kajian Seni Universitas Negeri Semarang yang berjudul "Eksistensi Tari Manimbong dalam Upacara Rambu Tuka' Masyarakat Toraja", tarian Manimbong dilakukan dengan cara para penari masuk dan berbaris sambil berjalan mengelilingi pelataran Tongkonan. Kemudian mengatur posisi di tengah-tengah pelataran
Proses memasuki pelataran Tongkonan diawali oleh para penari Ma'dandan yang berjalan sambil menghentakkan tongkat mereka ke tanah. Kemudian disusul oleh para penari Manimbong sambil membunyikan simbong atau okkoh-okkoh.

Setelah berkeliling para penari langsung berjejer di tengah-tengah pelataran Tongkonan. Penari wanita dan pria saling bertukaran tempat ke depan dan belakang, berdiri dan berlutut, dengan gertakan kaki yang seirama.

Tari Manimbong memiliki delapan kategori gerakan, yaitu Pa' Tambolang, Pa' Male'-Male', Pa' Letten Lemo, Pa' Tulali, Umbalalan, Talao Sau Tenden, Pa' Ruttu Ue, dan gerakan Pa' Bukka.

Tari Manimbong ini dapat ditampilkan dengan durasi waktu 7 hingga 10 menit, tergantung variasi gerakan yang dibawakan saat pementasan.

Keunikan Tari Manimbong
Secara umum, Tari Manimbong tidak diiringi alat musik melodis tradisional seperti geso'-geso' atau pelle' maupun alat musik lainnya.


Namun, saat mementaskan tarian ini, setiap orang akan membawa sebuah alat musik yang disebut sarong simbong. Alat musik tersebut seperti tameng kecil yang berbentuk lingkaran bermotif ukiran Toraja yang terdapat hiasan tali yang menjuntai (ikko'na) dan juga koin yang diikatkan sehingga saat menari alat tersebut akan menghasilkan bunyi ketukan bagi para pemain.

Selain menggunakan alat tersebut untuk menghasilkan bunyi, para penari juga akan menyanyi syair khusus yang memiliki makna rasa syukur. Syair yang dinyanyikan kebanyakan huruf vocal seperti, "Aaaa.." "Eeee..." "Oooo...".

alam tarian ini, penari menggunakan kostum Bayu Pokko', Seppa Tallu Buku, dan selempang kain tua (mawa'). Setiap penari menggunakan hiasan kepala yang terbuat dari bulu burung bawan atau bulu ayam yang indah.

Selain kostum tersebut, penari juga menggunakan parang kuno (la'bo' pinai) dan sejenis tameng kecil yang berbentuk lingkaran dengan motif ukiran khas Toraja.

Eksistensi Tari Manimbong
Tari manimbong saat ini sangat cukup sebagai tarian tradisional, hal Ini dilihat dari aturan hukum dan adat Toraja yang mengatakan bahwa tarian ini tidak boleh dipentaskan sembarangan.

Akan tetapi, Tari Manimbong kurang dikenal oleh masyarakat diluar Toraja, sebab kebanyakan pelaksanaan upacara Rambu Tuka' dilaksanaan tidak saat hari libur. Seperti kisaran bulan Juni, Juli, atau Desember.

Sehingga Tari Manimbong ini kurang pengakuan oleh masyarakat luar Toraja bahkan masyarakat Toraja sendiri


Sisemba, Tradisi Unik Adu Kaki Masyarakat Toraja Sebagai Bentuk Rasa Syukur

Sisemba adalah tradisi masyarakat suku Toraja yang telah diwariskan turun temuruan sebagai bentuk rasa syukur dari hasil panen yang telah dihasilkan.Tradisi ini digelar dengan tari Ma’gallu, serta Ma’ lambuk atau menumbuk padi secara beramai-ramai. Para tetua adat akan memberi wejangan yang berisi pesan leluhur tentang aturan bertani. Warga yang memadati lokasi pesta panen disuguhkan tarian Ma’gallu. 

Tarian ini memiliki makna sebagai bentuk rasa syukur kepada tuhan atas hasil panen yang dihasilkan. sesuai namanya sisemba yang berarti adu kaki, para pria yang yang berusia 15 tahun keatas melakukan tradisi ini secara berkelompok.

Jumat, 17 Januari 2025

Acara Rambu Solo` : Daya Tarik Wisatawan Yang Utama Di Toraja

Tradisi gotong royong Rambu Solo’ merupakan upacara pemakaman yang dilakukan oleh masyarakat Toraja. Tradisi ini bertujuan untuk menghormati orang yang meninggal dan mengantarkan arwahnya ke alam roh.

Makna dari tradisi Rambu Solo adalah: Menghormati arwah orang yang meninggal, Mengantarkan arwah orang yang meninggal ke alam roh, Menyempurnakan kematian, Memuliakan arwah orang yang meninggal

Tata cara pelaksanaan

  • Upacara Rambu Solo’ dilakukan sesuai dengan strata sosial masyarakat
  • Upacara Rambu Solo’ melibatkan banyak orang
  • Upacara Rambu Solo’ diramaikan dengan pertunjukan kesenian
  • Upacara Rambu Solo’ memiliki beberapa fase, seperti Ma’karudusan dan Ma’pasa’tedong

Upacara rambu solo’ berasal dari kepercayaan Aluk Todolo. Istilah aluk rambu solo’ terbangun dari tiga kata, yaitu aluk (keyakinan), rambu (asap atau sinar), dan turun. Dengan demikian, aluk rambu solo’ dapat diartikan sebagai upacara yang dilaksanakan pada waktu sinar matahari mulai turun (terbenam). Sebutan lain untuk upacara ini adalah aluk rampe matampu.

Upacara rambu solo sudah dilaksanakan dimulai kira-kira abat ke-9 masehi dan dilaksanakan turun-temurun sampai saat ini.[2]

Upacara ini merupakan sebuah transaksi ekonomi raksasa yang melibatkan dan memberi keuntungan bagi banyak pihak. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir upacara kematian itu mulai disisipi dengan aktivitas ekonomi. Perekonomian rambu solo’ menjadi sumber pendapatan bagi berbagai profesi sosial, antara lain: ternak babi dan kerbau, jasa pembawa acarasalon dan dekorasi, sewa soundsystem, listrik, pelapak kaki lima, industri rokok, logistik makanan (tuak, ikan, sayur-sayuran, beras, gula, kue tradisional dan modern, air kemasan, kopiteh, minuman alkohol).

Pemberian babi atau kerbau kepada keluarga yang sedang menghadapi rambu solo’ sebagai tanda ikatan darah daging (rara buku). Membawa babi atau kerbau pada orang dalam rambu solo’ menandakan adanya ikatan keluarga, seperti kerabat atau adanya hubungan karena perkawinan dan kenalan yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri. Ada dua jenis pemberian hewan dari keluarga atau kenalan pada orang yang sedang menghadapi pelaksanaan upacara rambu solo’ yakni pemberian sebagai tanda kasih dan turut berduka (pa’uaimata) sebagai kerabat dan pengembalian pemberian yang telah diterima di masa lalu (tangkean suru’) dan sudah ada rezeki untuk dikembalikan.

Jenis upacara ditentukan oleh status orang yang meninggal, dalam masyarakat Toraja dikenal sebagai Tana’ atau kelas sosial (kasta). Ada beberapa stratifikasi upacara rambu solo’, sebagai berikut.

  1. Didedekan palungan, berlaku untuk semua tana’.
  2. Disilli’, berlaku untuk semua tana’.
  3. Dibai Tungga’, berlaku untuk semua tana’.
  4. ‘Dibai a’pa’, berlaku untuk semua kelas.
  5. Tedong tungga’, berlaku untuk semua kelas.
  6. Tedong tallu atau tallung bongi, dikhususkan untuktana’ karurung ke atas.
  7. Tedong pitulimang bongi, ekslusif bagi anggota tana’ bassi.
  8. Tedong kaserapitung bongi, ekslusif bagi anggota tana’bassi dan tana’ bulaan.
  9. Rapasan, ekslusif bagi anggota tana’ bassi dan tana’ bulaan.

Jenis upacara pertama dan kedua diselenggarakan untuk kematian anak. Jenis ketiga dan keempat berlaku hanya bagi para budak. Jenis kelima berlaku untuk semua kelas, termasuk budak asal sanggup menanggung biayanya. Dengan alasan ekonomis jenis upacara ketujuh merupakan yang paling sering dilaksanakan.

Tingkatan dalam upacara Rambu Solo menunjukkan strata sosial masyarakat. Tingkatan tersebut memiliki 4 macam yaitu:

  1. Upacara dasilli’, merupakan upacara pemakamam level paling rendah dalam Aluk Todolo. Upacara ini untuk tana’ terendah dan untuk anak yang belum bergigi.
  2. Uacara dipasangbongi, merupakan upacara untuk rakyat biasa/rakyat merdeka (tana’ Karurung). Upacara ini hanya memerlukan waktu satu malam.
  3. Upacara dibatang atau digoya Tedong, merupakan upacara untuk bangsawan menengah (tana’ bassi) dan bangsawan tinggi yang tidak mampu. Upacara ini menyembelih satu ekor kerbau setiap hari selama upacara berlangsung. Kerbau diikat pada patok dan dijaga sepanjang malam dan tidak tidur.
  4. Upacara rapasan, merupakan upacara untuk bangsawan tinggi (tana’ bulaan). Biaya yang besar dalam menyelenggarakan upacara rambu solo ditanggung oleh seluruh anggota keluarga. Setiap keluarga berpartisipasi dalam acara tersebut. Partisipasi dilakukan dengan menyerahkan harta benda yang dibutuhkan dalam upacara, terutama ternak hidup seperti kerbau dan babi.

Upacara rambu solo di Tana Toraja memerlukan biaya yang sangat besar (mahal). Biaya yang tinggi tersebut disebabkan oleh banyaknya kerbau dan babi yang dikorbankan, dan lamanya upacara dilaksanakan. Biaya yang besar dalam upacara rambu solo adalah untuk melakukan pengorbanan utama berupa penyembelihan kerbau belang atau tedong bonga. Selain mengorbankan kerbau belang, upacara rambu solo juga mengorbankan kerbau biasa dan babi yang jumlanya mencapai ratusan ekor bahkan ribuan ekor. Sehingga keseluruhan biayanya dapat mencapai milyaran rupiah Pengeluaran dalam perspektif budaya dilakukan dalam kegiatan perayaan adat tidak memiliki keterkaitan dengan perolehan pendapatan sebagai ikutannya, walaupun pengeluaran untuk perayaan tersebut membutuhkan pengeluaran biaya yang sangat besar.

Untuk mempersiapkan upacara rambu solo, didahului oleh beberapa aktivitas yang berkaitan dengan persiapan pelaksanaan upacara tersebut. Kegiatan-kegiatan pendahuluan sebelum upacara dilaksanakan, yakni acara pertemuan keluarga, pembuatan pondok-pondok upacara, menyediakan peralatan upacara, dan persediaan kurban dalam upacara.Pada pesta kematian (rambu solo’) dilakukan pemotongan ternak kerbau yang tidak sedikit, dan bagi orang Toraja, kerbau dijadikan sebagai hewan kurban dalam acara ritual pada upacara adat kematian (rambu solo’). Jumlah kerbau dalam prosesi rambu solo’ yang dikurbankan menyesuaikan stratifikasi masyarakat Suku Toraja. Bila golongan Rapasan (golongan Bangsawan) meninggal dunia maka jumlah kerbau yang akan dipotong untuk keperluan acara jauh lebih banyak dibanding dengan masyarakat yang bukan keturunan bangsawan. Untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau biasa berkisar dari 24 sampai dengan 100 ekor kerbau. Sedangkan masyarakat golongan Tana’bassi (golongan menengah) diharuskan menyembelih 8 kerbau ditambah dengan 50 ekor babi.[11] Lama upacara sekitar 3-7 hari. Tapi sebelum jumlah itu mencukupi, jenazah tidak boleh dikuburkan ditebing atau ditempat tinggi. Maka dari itu tidak jarang jenazah disimpan selama bertahun-tahun di atas rumah atau di atas tongkonan (rumah adat Toraja) sampai akhirnya keluarga almarhum dapat menyiapkan hewan kurban.

Mengarak mayat merupakan sistem pengetahuan dalam tradisi Rambu Solo karena merupakan peristiwa yang nyata dan sudah dilakukan secara turun-temurun di Toraja. Mayat yang ada di dalam peti akan diarak dan dibawa ke tempat terakhirnya agar segera menghadap ke Tuhannya. Mayat itu nantinya akan dikuburkan ke tebing.

Rambu Solo memiliki beberapa sistem simbol yang dapat diketahui melalui peristiwa yang terjadi dalam tradisi tersebut. Sistem simbol yang terdapat pada Rambu Solo adalah simbol dalam ritual, simbol nyanyian, simbol bangsawan, simbol arwah, simbol melayat dan simbol kerbau. Ritual dalam Rambu Solo terdiri atas Mappassulu’, Mangriu’ Batu, Ma’popengkaloa, Ma’pasonglo, Mantanu Tedong, dan Mappasilaga Tedong.

Manganda`Tarian ritual pemujaan agama lokal Toraja yang di sebut Aluk Todolo

Tarian Manganda’ adalah salah satu tarian yang dilestarikan di Toraja yang juga merupan tarian ritual pemujaan agama lokal Toraja yang di sebut Aluk Todolo ( Alto).

Tarian manganda’ biasa dilakukan oleh kalangan pria dengan hiasan kepala dari tanduk kerbau asli, dan di hiasi logam tua serta menggunakan semacam bel yang berdering- dering dan di iringi dengan teriakan (kumalasi).

Sumber: berbagai web di google.

Ma’badong Suatu tarian gerak tari upacara asal dari Toraja

Ma’badong satu tarian gerak tari upacara asal dari Toraja Tarian Ma’badong ini diadakan pada upacara kematian atau pada acara rambu solok yang dilakukan bersama bsecara berkelompok. Para penari (pa’badong) membentuk lingkaran dan saling berpegangan tangan dengan saling mengaitkan jari kelingking dan umumnya mereka berpakaian hitam-hitam. Ma’badong bukan hanya sekadar tarian, melainkan sebuah kegiatan melagukan badong dengan gerak tari khas.Syair yang dilagukan disebut kadong-badong (the chant for the deceased).Isi dari syair tersebut tidak lain adalah pengagungan terhadap si mati.Di dalamnya diceritakan asal-usul dari langit, masa kanak-kanaknya, amal dan kebaikannya, serta semua hal menyangkut dirinya yang dianggap terpuji.Selain itu, di dalamnya juga mengandung harapan atau doa bahwa orang mati tersebut dengan segala kebaikannya akan memberkati orang-orang yang masih hidup.

Penari melingkar dan saling mengaitkan jari-jari kelingking yang diayunkan sesuai irama badong yang diucapkan kadang lambat kadang cepat sesuai perasaan syair yang dibawakan.Penari juga melangkahkan kaki ke depan dan ke samping sesuai irama gerakan tangan. . Penari terdiri dari pria dan wanita setengah baya atau tua. Pa’badong melantunkan syair (Kadong Badong) riwayat hidup, sejak lahir sampai wafat dari orang yang meninggal dunia. Tarian Ma’badong ini kadang menelan waktu berjam-jam, malah berlangsung sampai tiga hari tiga malam sambung-menyambung di pelataran tempat upacara berduka.

Badong juga adalah merupakan warisan aluk todolo yang adalah agama nenek moyang orang toraja.

Kamis, 16 Januari 2025

PONGTIKU : Pahlawan Nasional Dari Toraja

 

Putra dari penguasa Pangala’, Tiku merebut kerajaan tetangga yang bernama Baruppu’ dan menjadi pemimpinnya, setelah kematian ayahnya, ia juga memerintah Pangala’. Karena perdagangan kopi dan bersekutu dengan suku Bugis dataran rendah, Tiku mampu memperoleh kekayaan, tanah, dan kekuasaan yang besar. Selama Perang Kopi (1889–1890), ibu kotanya di Tondon dihancurkan oleh penguasa lain, namun dapat direbut kembali pada hari yang sama. Ketika kolonial Belanda, yang berbasis di Jawa, menginvasi Sulawesi pada awal 1900-an, Tiku dan tentaranya memanfaatkan benteng untuk bertahan dan basis untuk melancarkan serangan. Ditangkap pada Oktober 1906, namun pada Januari 1907, ia berhasil melarikan diri dan tetap buron hingga Juni. Dia dieksekusi beberapa hari kemudian.

Tiku adalah pemimpin perlawanan paling lama di Sulawesi, sehingga Gubernur Jenderal J. B. van Heutsz menganggapnya perusak stabilitas kontrol Belanda atas wilayah Sulawesi dan mengirim Gubernur Sulawesi untuk mengawasi penangkapannya. Sejak kematiannya, Tiku telah digunakan sebagai simbol perlawanan Toraja. Panjang diperingati di Sulawesi, ia resmi dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 2002.

Kehidupan awal dan naik ke tampuk kekuasaan

Tiku lahir di dekat Rantepao, di dataran tinggi Sulawesi (sekarang bagian dari Kabupaten Toraja UtaraSulawesi Selatan) pada tahun 1846.Pada saat itu, Sulawesi selatan adalah pusat bagi perdagangan kopi yang berkembang pesat dan dikendalikan oleh banyak panglima perang. Tiku yang merupakan anak dari salah satu panglima perang ini, penguasa Pangala’. Ia merupakan anak bungsu dari enam bersaudara keluarga Siambo’ Karaeng dan istrinya Leb’ok. Tiku adalah pemuda yang atletis,dan bersahabat baik dengan para pedagang kopi yang berkunjung ke desanya.

Pada tahun 1880, terjadi perang antara Pangala’ dan Baruppu’, negara tetangga yang dipimpin oleh Pasusu. Tiku berperan aktif dalam kampanye melawan Baruppu’, dan ketika Pasusu dikalahkan, Tiku menggantikannya sebagai penguasa Baruppu’. Kerajaan yang baru dianeksasi ini kaya akan sawah dan mudah dipertahankan, memberi Tiku kekuasaan yang besar. Meskipun orang Toraja secara tradisional menghargai tenaga manusia dan berusaha untuk tidak membunuh tawanan perang, sejarah lisan Baruppu menggambarkan Tiku sebagai pembunuh pria, wanita, dan anak-anak tanpa ampun.

Ketika, tidak lama kemudian, ayah Tiku meninggal, Tiku juga menjadi pemimpin Pangala’. Sebagai pemimpin, Tiku bekerja untuk memperkuat ekonomi dengan meningkatkan perdagangan kopi dan membentuk aliansi strategis dengan penduduk dataran rendah yang didominasi orang Bugis. Keberhasilan ekonomi yang dibawanya membuat penguasa terdekatnya menghormati dan iri pada Tiku.

Kopi dan perang saudara

Khawatir akan persaingan dari kerajaan Luwu dan Bone di utara dan Sidareng dan Sawitto di selatan, Tiku berusaha memperkuat pertahanan negaranya. Kerajaan akhirnya mencapai beberapa perjanjian perdagangan. Namun, perambahan Bugis menyebabkan ketegangan baru antara negara bagian, yang mencapai puncaknya dalam Perang Kopi pada tahun 1889. Tiku memihak kerajaan selatan yang dipengaruhi Bugis.

Pemimpin militer Bone Petta Panggawae dan prajurit Songko’ Borrong menyerbu Pangala’ dan memihak Pong Maramba’, seorang bangsawan kecil. Panggawae mengambil alih ibu kota Tiku di Tondon dan meruntuhkan kota, membuat Tiku dan penduduk sipil meninggalkan daerah tersebut. Tiku, yang berpihak pada pemimpin Sidenreng, Andi Guru, berhasil merebut kembali sisa-sisa ibu kota malam itu.Perang berakhir pada tahun 1890.Atas perintah pemerintah kolonial di Jawa, pasukan Belanda merangsek sampai Bone. Namun, negara-negara bagian yang tersisa segera memulai serangkaian perjuangan lain atas perdagangan senjata dan budak. Negara-negara kemudian menukar senjata dengan budak. Tiku juga berpartisipasi dalam perdagangan.

Tiku akhirnya membentuk aliansi dengan para pemimpin Bugis terdekat, yang mengurangi ketegangan dan meningkatkan perdagangan; ia juga mempelajari sistem penulisan dan bahasa kelompok tersebut, sehingga ia dapat dengan mudah berkorespondensi dengan para pemimpin Bugis. Pada saat ini Tiku telah merebut banyak wilayah. Untuk menghindari pengulangan penghancuran Tondon, Tiku memulai pembangunan tujuh benteng di tanahnya, serta beberapa pos pengawasan dan gudang. Benteng Toraja dirancang untuk mencegah masuknya lembah menuju pusat populasi, dan benteng Tiku dibagi antara bagian timur dan barat tanahnya.Dia menerapkan sistem pajak untuk mendanai langkah-langkah defensif ini: pemilik sawah diwajibkan untuk dikenakan pajak dua pertiga dari hasil panen mereka, sementara petani lain dikenai pajak sepuluh persen.

Serbuan Belanda

Pada tahun 1905 tanah Bugis dan Toraja yang sebelumnya terfragmentasi telah bersatu menjadi empat wilayah utama, salah satunya berada di bawah Tiku. Pada bulan Juli tahun itu, raja Gowa, negara tetangga, mulai mengumpulkan tentara untuk melawan penjajah dan mencegah sisa tanah Toraja ditaklukkan. Ma’dika Bombing, seorang pemimpin dari negara wilayah selatan, meminta bantuan Tiku. Sebulan setelah para utusan bubar, para pemimpin berkumpul di Gowa untuk membuat rencana aksi. Hasilnya adalah para penguasa lokal harus berhenti berperang di antara mereka sendiri dan fokus pada Belanda, yang memiliki kekuatan lebih unggul; Walau begitu konflik internal ini, tidak sepenuhnya mereda. Pada saat pertemuan ditangguhkan, Belanda sudah mulai menyerang Luwu. Tiku ditugaskan untuk mengalihkan Belanda dari kota Rantepo yang sulit untuk dipertahankan, mulai membangun pasukannya dan pertahanannya.

Pada bulan Januari 1906 Tiku mengirim pengintai ke Sidareng dan Sawitto, yang diserbu Belanda, untuk mengamati jalannya pertempuran. Ketika pengintai melaporkan kekuatan luar biasa pasukan Belanda dan kekuatan magis yang digunakan untuk melawan tentara Bugis, dia memerintahkan bentengnya untuk meningkatkan kesiapan dan mulai menimbun beras; bulan itu, Luwu jatuh ke tangan pasukan Belanda, yang kemudian bergerak lebih jauh ke pedalaman. Pada bulan Februari anak buah Tiku, dikirim untuk memperkuat kerajaan selatan, melaporkan bahwa tidak ada lagi kepemimpinan yang koheren dan bahwa kedua kerajaan kalah melawan Eropa. Ini meyakinkan Tiku untuk melatih lebih banyak pasukan dan membentuk dewan militer beranggotakan sembilan orang, dengan dirinya sebagai pemimpinnya.

Pada Maret 1906, kerajaan lainnya telah jatuh, meninggalkan Tiku sebagai penguasa Toraja terakhir.Belanda merebut Rantepao tanpa perlawanan, tanpa menyadari bahwa penyerahan kota telah direncanakan oleh Tiku. Melalui sebuah surat, Panglima Belanda Kapten Kilian menyuruh Tiku untuk menyerah, sebuah tuntutan yang tidak dipenuhi oleh Tiku.Sadar akan pasukan Tiku yang sudah terkumpul dan banyaknya benteng, Kilian tidak mencoba melakukan serangan langsung. Sebaliknya, pada April 1906 ia mengirim rombongan ekspedisi ke Tondon. Meskipun gerakan pasukan ini tidak dilawan, setelah malam tiba pasukan Tiku menyerang kamp Belanda di Tondon; ini memaksa pasukan Belanda untuk mundur ke Rantepao dan dikejar oleh pasukan Tiku, yang mengakibatkan banyak korban dari pihak Belanda di sepanjang perjalanan.

Strategi Tiku didasarkan pada pengalaman yang diperolehnya saat melawan panglima perang lainnya.Belanda dan pasukan pribumi,di sisi lain, meremehkan pasukan Tiku dan tidak mampu beradaptasi dengan cuaca dingin di dataran tinggi.

Perjuangan awal

Ekspedisi yang gagal menyebabkan perang terbuka antara Tiku, yang bersembunyi di bentengnya di Buntu Batu, dan pasukan Belanda. Tiku memiliki mata-mata di Rantepao. Pada tanggal 22 Juni, mereka melaporkan bahwa sebuah batalyon Belanda yang terdiri dari kira-kira 250 orang dan 500 kuli telah meninggalkan desa pada malam sebelumnya, mengarah ke selatan menuju arah benteng Tiku di Lali’ Londong. Tiku memerintahkan agar jalan tersebut disabotase, sehingga memperpanjang waktu tempuh dari satu hari menjadi lima hari. Pada malam tanggal 26 Juni, pasukan Tiku menyerang pasukan Belanda di luar Lali’ Londong, sebuah serangan yang tidak diprediksi oleh Belanda. Namun, tidak ada yang tewas dalam serangan itu. Keesokan paginya, Belanda memulai pengepungan di Lali’ Londong,menggunakan granat tangan dan tangga. Karena tidak mampu menghadapi granat, senjata baru Belanda yang tidak digunakan melawan panglima perang lain sebelumnya, sore itu benteng itu berhasil direbut pasukan Belanda.

Kekalahan ini membuat Tiku memperkuat anak buahnya. Pasukan Toraja dipersenjatai dengan senapan, tombak, batu besar, pedang, dan ekstrak cabai,disemprotkan ke mata musuh dengan alat yang disebut tirik lada , atau sumpitan, untuk membutakan mereka. Tiku sendiri dipersenjatai dengan senapan, tombak, dan labo Portugis. Dia mengenakan baju pelindung, sepu (penjaga selangkangan), dan songkok dengan tonjolan berbentuk tanduk kerbau, dan membawa perisai yang dihias. Dengan tentaranya, Tiku menggali lubang yang diisi dengan tiang bambu tajam di sepanjang rute pasokan Belanda. Mereka yang berjalan di atas lubang akan jatuh dan tertusuk. Namun, ini tidak cukup untuk menghentikan kemajuan Belanda. Pada 17 Oktober 1906, dua benteng bernama Bamba Puang dan Kotu, jatuh,setelah beberapa kali serangan gagal Belanda sejak Juni. Karena kampanye melawan Tiku berlangsung lebih lama daripada sebagian besar kampanye pendudukan lainnya, hal ini dianggap melemahkan otoritas Belanda di Sulawesi, Gubernur Jenderal J. B. van Heutsz mengirim Gubernur Sulawesi Swart untuk memimpin serangan secara pribadi.

Setelah pengepungan yang lama, Andi Guru dan mantan letnan Tiku, Tandi Bunna’ – keduanya saat itu sudah bekerja untuk Belanda – mendekati Tiku pada tanggal 26 Oktober dan menawarkan gencatan senjata. Meski awalnya tidak mau, Tiku dilaporkan diyakinkan oleh warga sipil yang mengingatkannya bahwa ibunya – yang telah meninggal dalam pengepungan – perlu dikuburkan.Setelah tiga hari gencatan senjata, pada malam 30 Oktober pasukan Belanda mengambil alih benteng, mengambil semua senjata, dan menangkap Tiku. Dia dan tentaranya terpaksa kabur ke Tondon.

Perlawanan kedua dan kematian

Di Tondon Tiku memulai persiapan pemakaman ibunya, persiapan yang dalam budaya Toraja memakan waktu beberapa bulan. Saat mengurus persiapan, dia menyuruh seorang penasihat mengumpulkan senjata secara diam-diam sementara yang lain disuruhnya pergi ke bentengnya di Alla’ dan Ambeso.Tiku kemudian membuat persiapan untuk melarikan diri dari tahanan Belanda; dia juga mengembalikan semua properti yang dia ambil sebagai tuan, karena dia tahu dia tidak akan menggunakannya lagi. Selama di Tondon, pasukan Belanda dianggap melecehkan Pong Tiku.Malam sebelum pemakaman ibunya, pada Januari 1907, Tiku dan 300 pengikutnya melarikan diri dari Tondon, menuju selatan.

Setelah dia diberitahu bahwa Belanda telah mengejarnya, Tiku memerintahkan sebagian besar pengikutnya untuk kembali ke Tondon sementara dia dan sekelompok lima belas orang, termasuk dua istrinya, terus ke selatan.Mereka pertama kali tiba di Ambeso, tetapi benteng itu jatuh beberapa hari kemudian, dan saat itu mereka mengungsi ke Alla’. Benteng ini pula jatuh pada akhir Maret 1907 dan Tiku mulai kembali ke Tondon melalui hutan. Dia dan para pemimpin lainnya, baik Bugis maupun Toraja, dikejar oleh pasukan Belanda. Para pemimpin lainnya menyerah kepada Belanda dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara di Makassar atau diasingkan ke Buton.Tiku, sementara itu, tetap bersembunyi di hutan.

Pada tanggal 30 Juni 1907 Tiku dan dua anak buahnya ditangkap oleh pasukan Belanda; dia adalah pemimpin gerilya terakhir yang ditangkap. Setelah beberapa hari di penjara,pada 10 Juli 1907 Tiku ditembak mati oleh tentara Belanda di dekat Sungai Sa’dan; beberapa laporan menyatakan bahwa ia sedang mandi pada saat itu.Ia dimakamkan bersama seluruh keluarganya di Tondon, sementara sepupunya Tandibua’ menjadi penguasa Pangala’, di bawah Belanda.

Setelah kematian Tiku, pemerintah kolonial berharap dia segera dilupakan, sebuah harapan yang tidak terwujud;Tandibua’ memberontak pada tahun 1917, dan pemberontakan lokal lainnya muncul di berbagai daerah di Sulawesi sampai kaburnya Belanda setelah Pendudukan Jepang. Selama pendudukan, pasukan Jepang menggunakan Tiku sebagai simbol perjuangan Toraja melawan agresi kolonial, bekerja untuk menyatukan rakyat melawan Eropa. Walau hal ini kurang diterima di daerah taklukan Tiku seperti Baruppu’ dan Sesean. Di sana, Tiku dikenang sebagai pria yang membunuh orang lain untuk mencuri istri mereka.

Pemerintah Kabupaten Tana Toraja mendeklarasikan Tiku sebagai pahlawan nasional pada tahun 1964.Pada tahun 1970, sebuah monumen untuknya dibangun di tepi sungai Sa’dan.Tiku dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia dengan Keputusan Presiden 073/TK/2002 pada tanggal 6 November 2002. Pada peringatan kematian Tiku, upacara peringatan diadakan di ibukota provinsi Makassar. Selain beberapa jalan, Bandara Pongtiku di Tana Toraja dinamai berdasarkan namanya.



Kesenian Toraja Gau' Tendengan atau Gau Pa'Tendengan

Kesenian Toraja bersumber atau berdasarkan dari falsafah hidup dan kehidupan masyarakat Toraja yang keseluruhannya nampak dalam kehidupan A...